Maka fenomena spiritualitas-religiusitas wajar terjadi. Itulah ekses
pembangunan yang terlalu mengandalkan materi.
Puncaknya adalah manusia berbondong-bondong mencari lagi kasanah
religi-religi yang selama ini ditinggalkan. Orang akan ramai-ramai
mempertanyakan eksistensinya yang esensial sebagai manusia.
Manusia akan
memandang bahwa alam bukan hanya fenomena empirik-sensual. Bahwa ada yang di
balik itu semua.
Hanya saja
manusia terlalu sombong untuk mengakuinya. Terlalu sibuk untuk sekedar
menegoknya. Akhirnya jiwanya sendiri yang meraung-meraung dan menyeretnya.
Tentu saja
panggilan jiwa adalah panggilan ilahiah. Dia tidak lain berasal dari
pembuatnya. Getaran yang dirasakan adalah getaran kosmos melalui para
malaikat-Nya yang ditugaskan memancarkan hidayah.
Ketidak tenangan
jiwa merupakan intuisi paling murni. Semakin disangkal akan semakin kuat. Semakin
dihindari suatu saat akan semakin hebat badai jiwa yang akan terjadi.
Ini disebabkan
jiwa mungkin adalah sebuah “alat” yang Allah ciptakan untuk suatu saat
memanggil ciptaan-Nya. Jika nabi-Nya, rasul-Nya, kitab literel-Nya (Qur’an),
atau wali-Nya sudah tidak gubris lagi oleh manusia. Tinggallah jiwa yang memang
sedari awalnya mempunyai fitrah menuju yang sejati dan abadi.
Jiwa mungkin
bisa diibaratkan terminal dari tali Allah yang menjulang sampai ke arasy-Nya. Melalui
tali itu ditransferlah petunjuk-petunjuk ilahiah sehingga seorang bisa beriman
walaupun belum bisa menjelaskan apa itu iman. Yang dia rasakan hanyalah
dorongan kuat bahwa hal itu benar.
Dan panggilan
jiwa itu salah satu jalan ma’rifat kepada Allah. Karena Allah bersabda bahwa
diri-Nya itu sangat dekat kepada hambanya sedekat urat leher hambanya, bahkan
lebih dekat dari itu.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Qaaf, 16)